


Perjalanan logistik di Nusantara berakar sejak era kerajaan maritim seperti Sriwijaya dan Majapahit. Kedua kerajaan ini membangun jaringan pelabuhan, armada laut, dan rute perdagangan yang menghubungkan Asia Tenggara hingga ke India dan Tiongkok. Sistem maritim ini menjadi cikal bakal model logistik laut modern yang memadukan perdagangan, diplomasi, dan transportasi antarpulau (Sejarah Nasional Indonesia, Jilid II – Balai Pustaka). Memasuki abad ke-17, VOC memperkuat dominasi logistik dengan membangun kantor dagang dan gudang di Batavia, menjadikannya pusat distribusi utama Asia Tenggara. Infrastruktur ini menciptakan fondasi pengelolaan gudang dan ekspedisi yang sistematis (Arsip Museum Bahari; Colonial Port Cities in Asia).
Pada abad ke-19, pembangunan jalur kereta oleh Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS) menghubungkan hinterland perkebunan dengan pelabuhan strategis seperti Tanjung Priok. Jaringan ini mempercepat pengangkutan komoditas ekspor seperti kopi, gula, dan karet ke pasar dunia (Arsip KITLV). Masa pendudukan Jepang (1942–1945) menandai pengalihan aset pelabuhan dan pelayaran menjadi kendali militer, difokuskan untuk mendukung Perang Asia Timur Raya (The Japanese Occupation of Indonesia – Reid & Oki). Setelah kemerdekaan, perusahaan logistik lokal mulai bermunculan, menggantikan dominasi perusahaan Belanda, sebagaimana tercatat dalam data Biro Penelitian dan Statistik Kemenhub pada 1950-an.
Pasca 1950, sektor pelayaran nasional memasuki fase konsolidasi. Tahun 1952, Pemerintah Indonesia mendirikan PT Pelayaran Nasional Indonesia (PELNI) untuk menggantikan sistem logistik laut kolonial dan membangun kedaulatan angkutan laut nasional. Setahun kemudian, tokoh Soedarpo Soemarsono memelopori pendirian Samudera Indonesia (1953), yang mengintegrasikan layanan shipping, warehousing, dan agensi pelayaran (Biro Penelitian dan Statistik Kemenhub; Arsip Kemenhub RI). Inisiatif ini memperkuat kemampuan Indonesia dalam mengelola logistik terpadu yang kompetitif di pasar internasional.
Modernisasi pelabuhan semakin pesat pada dekade 1970–1990. Pelabuhan Tanjung Priok dan beberapa pelabuhan utama lainnya mulai dilengkapi fasilitas bongkar muat peti kemas, container yard, serta sistem transportasi multimoda untuk memudahkan distribusi barang ke seluruh pelosok negeri. Perubahan ini bukan hanya mengoptimalkan kecepatan dan efisiensi distribusi, tetapi juga menjadikan pelabuhan Indonesia mampu bersaing dengan pusat logistik global lainnya (Arsip Pelindo; Kemenhub RI; beacukai.go.id).